Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) telah mengeluarkan penilaian terhadap posisi
media dalam hiruk pikuk proses politik menuju Pemilu Presiden 9 Juli
2014. Ada lima media penyiaran yang dinilai KPI tidak netral dalam
menyiarkan kegiatan capres-cawapres. Selain porsi pemberitaan lebih
banyak, kelima televisi itu juga memberikan durasi penyiaran lebih
panjang untuk pasangan capres-cawapres tertentu. Kelima lembaga
penyiaran itu adalah TVOne, RCTI, MNC TV, TV Global dan Metro TV.
TV
One, RCTI, MNC TV dan TV Global dinilai memberikan porsi pemberitaan
lebih banyak kepada pasangan Prabowo-Hatta. Durasi penyiaran pasangan
Prabowo-Hatta juga lebih panjang dibandingkan dengan durasi penyiaran
untuk pasangann Jokowi-JK. Sebaliknya, satu media televisi, yaitu Metro
TV, dinilai memberikan porsi pemberitaan lebih banyak kepada pasangan
Jokowi-JK. Durasi penyiaran untuk pasangan nomor urut dua itu juga lebih
panjang daripada untuk pasangan Prabowo-Hatta.
Kondisi
yang sama sebelumnya dalam Pemilu Legislatif pada 9 April lalu,
sejumlah media juga menjadi partisan politik. Sebenarnya apabila mau
dianalisa secara keseluruhan baik media penyiaran maupun media cetak,
sebagaimana dalam pemilu legislatif dan proses politik pemilu presiden
saat ini, rata-rata media melakukan keberpihakan kepada kontestan
politik tertentu.
Dalam
proses pemilu legislatif sebenarnya KPI sebagai lembaga publik yang
berwenang mengawasi prilaku media penyiaran publik, telah memberikan
teguran dan peringatan, seperti tayangan iklan politik bernuansa
kampanye belum waktunya, kapada media penyiaran yang menayangkan iklan
tersebut. Lebih dari satu kali teguran dilayangkan oleh KPI ke lembaga
penyiaran yang menayangkan iklan kampanye tersebut terasa tak bergeming.
Teguran telah masuk diterima, namun sajian iklan kampanye tak berhenti
bersliweran.
***
Begitulah
prilaku media kita saat ini tidak lagi steril sebagai ruang publik
semenjak berkolaborasi dengan kekuatan politik (partai politik)
tertentu. Kepemilikan media oleh pimpinan partai politik tertentu telah
mengakibatkan independensi media untuk kepentingan publik menjadi lemah. Berbagai
debat publik di televisi ataupun di koran tidak memenuhi syarat-syarat
dari debat rasional kritis sebagaimana konsep Jurgen Habermas, kecuali
memenuhi kepentingan agenda politik pemilik. Ruang
publik menjadi ruang kuasa politik pemilik dengan menggeser kuasa
publik. Kombinasi kuasa politik dan kuasa modal mengambil alih fungsi
ruang publik (Chesney, 1997).
Di
ruang publik media memiliki peran kritis dengan menciptakan perdebatan
rasional kritis tentang masalah masalah politik yang berkaitan dengan
problem hajat hidup orang banyak. Sebagaimana Kritisisme Habermas,
fungsi ideal media massa seperi itu tidak bertahan lama. Televisi dan
berbagai media elektronik telah mengisolasikan warga negara dari warga
negara lainnya, sehingga ruang publik telah kehilangan fungsi
politiknya.
Berharap
menjadi ruang bagi partisipasi masyarakat didalam debat rasional, media
telah melakukan proses reifikasi terhadap berita-berita yang mereka
tayangkan, yakni menjadikan media sebagai ruang iklan, dimana politisi
dapat menjual ide-ide mereka untuk dibeli oleh rakyat. Konsekuensinya,
politisi jujur yang tidak sering tampil di media serta secara aktif
“menjual” ide-idenya di televisi akan cepat kehilangan pamornya,
seberapapun jenius ide-ide yang dikembangkannya. Politisi yang tidak
bisa menjadi selebriti media akan mendapatkan nasib yang sama.
Para
politikus pemilik media meyakini untuk melemahkan kuasa rival atau
lawan politik, ruang publik harus dikuasai. Di ruang publik, lawan
politik harus diserang dengan berbagai opini tentang kesalahan atau
dikemas seolah olah salah sekalipun mengandung unsur fitnah. Menguasai
ruang publik dianggap telah setengah memenangi pertarungan.http://www.butiktasonline.com/
Walhasil massifikasi iklan dilakukan yang walaupun harus nabrak larangan waktu yang diizinkan oleh peraturan pemilu. Belum lagi storytelling dalam
konstruksi berita politik tentang lawan politik, yang juga cukup massif
efek terpaan berita tersebut bagi konstruksi persepsi negatif publik.
Lawan politik telah diulas ulas dalam pemberitaan kasus korupsi yang
padahal belum ditetapkan sebagai tersangka korupsi, masih sebatas
diminta penjelasan sebagai saksi oleh KPK. Hingga mundurpun seorang
menteri dari kebinet karena alasan mau fokus mengikuti konvensi calon
presiden, dibuat opini sebagai celah dan kesalahan dengan konstruksi
berita yang isinya lari dari tanggungjawab.
Inilah era media milik partai tertentu memainkan peran kuasa politik sang pemiliknya dalam berburu rente kekuasaan. Agenda setting
media tunduk kepada agenda pemiliknya. Media yang berfungsi dan
berperan bagi publik untuk lebih banyak memiliki preferensi politik yang
memadai telah terkontaminasi dalam perwujudannya. Maka dalam konteks
ini, moratorium iklan kampanye ilegal patut diapresiasi dan mendesak
tegas dijalankan guna sterilisasi ruang publik. Karena publik sangat
mendambakan media berkarakter publik bukan media berkarakter politis.